Cakupan Serat Centhini adalah sangat luas, berkaitan dengan budaya Jawa pada abad 16-17, ketika kejadian ini berlangsung. Sebagai cerita, istiadat,kepercayaan, mungkin sudah tidak ada lagi pada saat ini. Tetapi sebagian besar nilai nilai ini masih hidup di masyarakat pedesaan di Jawa. Tempat yang dilalui Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti bisa dijadikan referensi arkeologi karena sebagian besar adalah candi-candi dari peninggalan kerajaan jawa di masa lalu. Mungkin candi itu masih ada, mungkin sudah tidak ada, yang pasti gunung-gunung dan desa-desa yang dilewati masih ada sampai saat ini dengan nama yang sama. Contohnya ketika Jayengresmi melihat tulang tulang besar di Gunung Phandan ada kemungkinan tulang- tulang besar ini adalah tulang-tulang binatang purba jaman pra-sejarah. Ketika melewati Dandhangngilo (mungkin sekitar Cepu) ada sumber minyak tanah, kemungkinan tempat ini mengandung sumber minyak mentah.
Sedangkan cerita rakyat yang ada di jilid-1 kemungkinan masih hidup sampai saat ini: Cerita ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu, Cerita Ki Ageng Sela menangkap petir dan papalinya, Cerita Sri – Sadana asal mula ada padi, Cerita tokoh-tokoh pewayangaan yang ada di wayang purwo.
Adat istiadat berkaitan dengan penanggalan Jawa, hari-hari baik/buruk, perhitungan selamatan orang meninggal dll. pada umumnya saat ini sudah dikompilasi menjadi buku Primbon. Banyak kalangan masyarakat Jawa walaupun sudah beragama Kristen atau Islam masih menggunakanya. Bahkan saat ini ada yang menawarkan jasa perhitungan berdasarkan primbon Jawa untuk hal-hal tertentu melalui sms operator tilpun seluler.
Sedangkan adat istiadat yang bersifat khusus seperti pembuatan keris, tombak, ukuran berbagai bagian rumah, dan candrasangkala hanya di pelajari oleh para ahli yang berkecimpung dalam bidang tersebut.
Saat ini masih ada empu pembuat keris, tombak, jenis senjata tajam lainnya. Ahli bangunan pembuatan rumah Joglo. Keduanya sudah ada tehnik dan hitungannya sejak ratusan tahun yang lalu.
Candrasangkala adalah sifat-sifat angka 1 s/d 9. Setiap angka bisa dterjemahkan menjadi kata yang tepat sesuai nilai angka tersebut. Biasanya dibuat untuk merangkai kalimat pendek sesuai kejadian tahun tersebut yang perlu diingat oleh pembuat. Contohnya “Paksa suci sabda ji” adalah tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi yaitu saat Serat Centini ditulis. Kemungkinan Serat Centini ini dibuat atas satu (ji – nilainya 1) perintah (sabda – nilainya 7) secara mendesak (paksa – nilainya 2) dengan maksut baik (suci – nilainya 4). Untuk bisa membuat Candrasangkala harus menguasai sifat kata-kata sesuai nilainya dari 1 s/d 9, cukup rumit. Saat ini mungkin hanya kalangan kraton yang masih menguasai ilmu ini.
Sedangkan pengetahuan sprituil, banyak kajian-kajian atau buku-buku yang diterbitkan berkaitan dengan ilmu-ilmu spirituil yang dibicarakan dalam setiap jilid Serat Centini, dikarenakan masyarakat Jawa senang dengan pembahasan tentang “sangkan paraning dumadi” atau “asal-usul kehidupan” dalam bentuk pembicaran tasauf. Banyak juga Serat berupa tembang yang memberi nasehat agar kita menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Yang disebut dalam jilid-1 adalah:
1. Serat Nitisruti adalah karangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612. Berisi nasehat agar berbudi luhur dan mengambarkan tingkahlaku yang tergolong nista-madya-utama.
2. Waringin Sunsang adalah cerita simbol asal usul kehidupan dan jalan kematian. Pada saat roh yang berasal dari Allah SWT. turun memberi hidup pada manusia adalah mudah, tapi waktu mau kembali lagi sulit seperti beringin yang terbalik - waringin sungsang. Beban perbuatan selama hidup akibat nafsu-nafsu yang mempengaruhi manusia, menjadi hambatan untuk roh kembali ke akar kehidupan yang mengarah keatas. Kecuali dengan usaha yang tidak kenal lelah fokus pada keseimbangan menuju ke akar kehidupan yaitu pengabdian kepada Allah SWT.
3. Empat cara bertapa atau empat cara tirakat (tarekat/laku/tingkah laku):
- Anarima, menerima kasih sayang Allah SWT, menerima apapun yang terjadi sesuai dengan takdir Ilahi.
- Geniira, menghindari diri dari rasa amarah.
- Banyuira, pandai menyesuaikan diri seperti aliran air.
- Ngluwat, memendam semua hal yang membanggakan diri agar tidak menganggap diriya paling benar. Bersikap andap asor.
4. Langit Sapta (Langit Tujuh) adalah tingkatan roh menuju kesempurnaan: roh jasmani, roh nabati, roh napsani, roh rohani, roh nurani, roh rabani, roh kapi.
5. Sifat rong puluh atau sifat dua puluh adalah usaha penghayatan akan Dzat, Sifat, Asma dan Afngal Allah SWT (kemungkinan besar ini adalah sinkretisasi atau adaptasi dari Asma Al-Husna):
a. Napsiyah (Dzat): Wujud (Pasti Adanya)
b. Salbiyah (Sifat): Kidam (Maha Awal), Baka (Maha Abadi), Mukalapah lil kawadis (Maha Luhur), Wal kiyamu binaphisi (Mengadakan Diri Sendiri), Wahdaniyat (Maha Esa).
c. Manganiyah (Asma): Kodrat (Maha Kuasa), Iradat (Maha Pencipta), Ngelmu (Maha Pandai), Kayat (Maha Hidup), Samak (Maha Tahu), Basar (Maha Waspada), Kalam (Maha Wicara),
d. Maknawiyah (Afngal): Kadiran (Yang Maha Menguasai), Muridan (Yang Maha Mencipta), Ngalimun (Yang Maha Menguasai Ilmu), Kayat (Yang Maha Menghidupi), Samingun (Yang Maha Mengetahui), Basiran (Yang Maha Melihat), Muakalimun (Yang Maha Pembicara).
Kesimpulannya pada abad 16 – 17 di pedalaman Jawa banyak para bijak hidup menyepi yang menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai kekayaan beragam budaya baik budaya asli yang berumur sangat tua maupun budaya akibat penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam. Satu sama lain hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Barangkali saat ini juga masih begitu kalau kita berbicara masyarakat di pedesaan yang masih lekat dengan budaya masa lalu dan tidak terlalu bersinggungan dengan pengaruh budaya Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar