Selasa, 20 Oktober 2009

Sekilas Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).

Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Namun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di surat kabar, media elektronika, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.


Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuna di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Kajian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuna yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang sekali, bahasa Melayu Kuna tidak meninggalkan catatan dalam bentuk kesusasteraan meskipun laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama Buddha yang bermutu.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.

Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Promosi bahasa Melayu dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Pada periode ini mulai terbentuklah "bahasa Indonesia" yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.

Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda."

Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."

Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.

Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[8]

Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia



Perinciannya sebagai berikut:

  1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
  2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
  4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
  5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
  6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
  7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
  9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
  10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
  12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
  13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
  14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
  15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
  16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
  17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

Tata bahasa

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak banyak menggunakan kata bertata bahasa dengan jenis kelamin. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.

Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.

Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.

Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.

Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".

Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.



Link : www.id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia


Minggu, 18 Oktober 2009

Tana Toraja



Tana Toraja, Sulawesi Selatan-Tanah Kerajaan Surga
Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke Toraja dengan melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana Toraja, anda mulai memasuki pamandangan alam yang penuh dengan keagungan.
Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di kejauhan setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.
Menuju Kesana
Perjalanan Udara : Dimulai dari lapangan terbang Hassanudin. Makasar atau Ujung Pandang, Proses ke Tana Toraja melalui lapangan terbang Rantepao didekat Makle, 24 Km arah selatan dari Rantepao dan dari sana akan ada layanan bus ke kota.
Perjalanan Darat : bus ke Rantepao ke Ujung Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari terminal Bus Panaikan.20 menit keluar dari kota dengan menggunakan Bemo. Bus ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi) Siang Hari ( jam 1 siang) dan pada malam hari (jam 7 malam). Beberapa perkumpulan di Rantepao kembali ke Ujung Pandang lagi. Basanya bus yang berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.
Tempat Tinggal
Wisatawan yang ingin tinggal di tengah kota memiliki banyak pilihan hotel. Tapi jika memiliki jiwa petualang, anda bisa tidur di desa bersama masyarakat sekitar.
Mengunjungi Tempat Lain
Bemo adalah cara terbaik untuk mengetahui daerah sekitar. Selain jenis yang lain (bus kecil atau jeep) dengan atau tanpa supir. Jika anda telah di desa anda bisa berjalan kaki untuk mengelilingi semua.
Hal Lain Yang Dapat Dilihat Dan Dilakukan
Menjelajahi pasar. Anda jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi pasar tradisional. Disini anda akan menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan Arabica) dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau Terong Belanda dan ikan mas).
Mengunjungi batu Tomonga artinya dalah batu yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau.
Mengunjungi Palawa. Palawaadalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Dimana ada sebuah Tongkonan atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival.
Lakukan perjalanan dari Rantepao ke Kete. Desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran orang hidup.
Tempat Makan
Kebanyakan anda dapat menemukan warung makan dilokasi ini, di sepanjang jalan. Anda juga dapat membawa makanan sendiri.
Tips Oleh-Oleh
Disana ada toko cinderamata dimana anda dapat membeli segala sesuatu yang khas dari Tana Toraja, ada pakaian, tas, dompet, dan kerajinan tangan lainnya.
Tips Melakukan Perjalanan
Pengunjung diperbolehkan mengunakan pakaian adat setempat dan akan diberikan hadiah seperti rokok atau kopi kapan pun memasuki Tongkonan
Jalanan tidak selalu aspal. Sering dilewati Jeep dan lainnya. Walaupun cuaca bagus. Jadi berhati-hatilah
Hati-hati dengan kepala anda ketika memasuki Tongkonan, rumah khas Toraja
Enrekang, Makale, dn tanah tinggi Toraja terbuat dari pecahan batu Vulkanik. Berhenti sebentar dan ambil foto disana. Atau anda akan menyesal.

Kamis, 15 Oktober 2009

Candi Sewu

Pengantar
Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Secara geografis, letak candi ini berada pada koordinat 110-29’29” bujur timur 7-44’40” lintang selatan, dan berada pada ketinggian 160,793 meter dari per[mukaan air laut. Dahulu, candi yang berada di sebelah utara Candi Prambanan ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Namun, saat ini sebagian areal di kompleks Candi Sewu telah dikosongkan untuk lokasi Taman Wisata Prambanan-Boro[budur yang menjadi satu kawasan dengan Candi Prambanan, Candi Lumbung dan Candi Bubrah.

Candi Sewu merupakan kompleks candi yang berlatar belakang agama Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur, yang dibangun pada sekitar abad VIII Masehi. Berdasar prasasti berangka tahun 714 S atau 792 M yang ditemukan di kompleks Candi Sewu pada tahun 1960, menyebutkan bahwa di tempat itu pernah ada penyempurnaan bangunan suci yang bernama Manjusrigra. Manjusriga yang berarti rumah Manjusri1 diduga adalah nama asli Candi Sewu. Sedangkan, mengenai tahun pendirian dan siapa pendiri bangunan tersebut, sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 M tersebut dan prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 M (ditemukan di dekat Candi Lumbung, beberapa ratus meter dari Candi Sewu), dapat diperkirakan bahwa candi ini didirikan pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, seorang raja besar dari kerajaan Mataram kuna yang memerintah tahun 746-784 M.

Tahun 1901 Candi Sewu “dibersihkan” untuk pertama kalinya oleh Van Erp pada bagian ambang pintu, bilik candi, dan candi perwara deret pertama. Hal ini dilakukan karena pada tahun 1825 Candi Sewu pernah rusak berat akibat batu-batunya dimanfaatkan oleh Belanda untuk membuat benteng. Pemugaran berikutnya terjadi pada tahun 1928 pada Candi Perwara nomor 72, sebagai upaya penyelamatan bangunan dari kehancuran. Sedangkan, pemugaran secara total dilakukan pada tahun 1980/1982 dan 1992/1993 oleh pemerintah dan sekaligus dijadikan sebagai benda cagar budaya.

Data Bangunan
Komplek Candi Sewu berdenah menyerupai bujur sangkar yang di dalamnya terdapat 249 buah bangunan, terdiri atas: satu buah candi induk, delapan buah candi apit, dan 240 buah candi perwara. Berdasarkan hasil temuan pata tahun 1984, komplek Candi Sewu dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: halaman pertama (utama), tengah, dan luar. Masing-masing halaman tersebut dibatasi oleh pagar keliling. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.

Pada halaman pertama terdapat candi induk yang dibatasi oleh pagar keliling berdenah persegi empat (40x41 meter). Bangunan candi induk berbentuk palang bersudut 20 derajat dengan garis tengah 28,9 meter dan tinggi 29,8 meter. Seperti candi-candi yang lain, Candi Sewu terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Sebagian besar bangunan terbuat dari batu andesit, dan hanya inti bangunan yang terbuat dari tatanan batu merah yang membentuk kubus. Struktur bata merah berbentuk kubus ini tidak dapat dilihat dari luar karena letaknya berada di dalam bangunan. Pada kaki candi terdapat sederetan relief yang menggambarkan motif purnakalasa (jambangan bunga) dan arca singa pada setiap sudut pertemuan antara kaki dan struktur tangga. Selain itu, pada sisi luar pipi tangga yang ujungnya berbentuk makara, terdapat relief yang menggambarkan yaksa, kalpawrsa dan jambangan bunga berbentuk sankha.

Badan candi induk dibagi menjadi 13 bagian, yaitu: sebuah bangunan tengah, empat lorong, empat selasar, dan empat penampil. Setiap penampil mempunyai pintu keluar dan pintu penghubung dengan lorong. Sedangkan, setiap lorong mempunyai pintu penghubung dengan selasar di kanan-kirinya. Khusus pada lorong timur terdapat pintu penghubung dengan bilik tengah. Di dalam bilik tengah terdapat sebuah asana lengkap dengan sandaran yang ditempatkan merapat ke dinding barat ruangan. Diduga asana tersebut dahulu diisi arca Manjusri yang tingginya kurang lebih 360 sentimeter. Dan, dalam setiap bilik penampil dahulu diduga berisi enam arca yang diletakkan dalam enam relung, tiga relung berjajar di dinding kanan dan tiga relung berjajar di dinding kiri.

Sedangkan, hiasan-hiasan yang ada pada tubuh candi antara lain: (1) kala makara pada ambang pintu-pintunya; (2) relief dewa yang duduk dalam posisi vajrasana dan kepalanya dikelilingi rangkaian api (siracakra) sebagai lambang kedewaan; (3) relief yang menggambarkan beberapa penari dan pemain gendang; dan (4) guna (makhluk kayangan yang bertubuh cebol) yang terdapat pada setiap sudut bangunan.

Candi induk mempunyai sembilan atap yang terdiri atas empat atap penampil, empat atap lorong, dan satu atap bilik utama, yang semua puncaknya berbentuk stupa. Atap bilik utama merupakan atap yang paling besar dan paling tinggi yang terdiri dari tiga tingkatan. Hiasan-hiasan yang ada pada atap candi antara lain pilaster-pilaster, relung-relung, dan antefik-antefik berhias dewa dan motif tumbuh-tumbuhan.

Pada halaman tengah dan luar terletak Candi Perwara dan Candi Apit. Candi Perwara disusun dalam empat deret membentuk persegi panjang yang sejajar. Deret pertama terdiri 28 bangunan, deret kedua 44 bangunan, deret ketiga 80 bangunan, dan deret keempat terdiri dari 88 bangunan. Seluruh candi perwara yang berada pada deret kedua, ketiga dan keempat berorientasi ke luar (membelakangi candi induk), sedangkan deret ketiga berorientasi ke dalam (menghadap candi induk). Kedudukan Candi Apit yang berjumlah 90 buah terletak diantara Candi Perwara deret pertama dan kedua, masing-masing sepasang di setiap penjuru. Setiap pasang Candi Apit tersebut mengapit jalan yang membelah halaman kedua, tepat pada sumbu-sumbunya. Pada keempat ujung jalan di dekat pagar halaman kedua, masing-masing terdapat sepasang arca Dwarapala ukuran raksasa. Tinggi arca kurang lebih 229,5 cm dan ditempatkan di atas lapik persegi setinggi kurang lebih 111 cm.

[Sumber: http://www.wacananusantara.org]

Referensi
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1998. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://candidiy.tripod.com
http://id.wikipedia.org
http://students.ukdw.ac.id
http://www.indonesia.go.id

Candi Kidal

Candi Kidal (tinggi 12,5 m, luas: 35 m2) terletak didesa Rejokidal sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk Raja Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang Amurwabhumi. Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di ruang utama candi. Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada tempatnya lagi.







[navigasi.net] Budaya - Candi Kidal
Arca Mahakala dan Nandiswara yang terletak pada kaki anak tangga


Dari daftar buku pengunjung yan ada nampak bahwa Candi kidal tidaklah sepopuler temannya Candi Singosari, Jago atau Jawi. Hal ini karena Candi Kidal terletak jauh dipedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata. Lokasi candi ini sendiri berada dipinggir jalan utama desa, namun karena terletak menjorok agak ke dalam sehingga sulit dilihat sebelum benar-benar tepat berada di depan gerbang masuk kawasan candi.

Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi, sehingga menekankan kesan ramping. Atap candi terdiri atas tiga bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan . Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian kecil.








[navigasi.net] Budaya - Candi Kidal
Ukiran banaspati yang terletak diatas pintu masuk candi


Hiasan kepala kala nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya dua taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.

Dilihat dari usianya, Candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan (Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pertirtaan. Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka Candi Kidal dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan Candi Kidal disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timur-an.

Nama Kidal sendiri sangat mungkin berasal dari bentuk ragam hias candi makam Anusapati yang tidak lazim, dimana umumnya ragam hias terutama relief-relief pada candi bersifat paradaksina (sansekerta = searah jarum jam, dari kanan ke kiri), tetapi Candi Kidal justru bersifat prasawya (sansekerta = berlawanan arah jarum jam, dari kiri ke kanan). Kidal sendiri dalam bahasa Jawa Kuno bermakna "kiri".








[navigasi.net] Budaya - Candi Kidal
Motif hiasan yang berbentuk medalion yang dipenuhi beragam hias tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan dan sulur-suluran


Candi Kidal adalah satu-satunya candi Jawa yang meiliki narasi cerita Garuda terlengkap. Terdapat tiga relief Garuda dalam candi ini, yang pertama Garuda dengan menggendong tiga ular besar, relief kedua melukiskan garuda dengan kendi diatas kepalanya dan relief ketiga Garuda menyangga seorang wanita diatasnya. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief garuda (garudeya) pada candi kidal ? Apa hbungannya dengan Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak dicandi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, yang selalu menderita dan selama hidupnya belum sepenuhnya menjadi wanita utama.

Legenda ....................

Dalam kesusasteraan Jawa kuno, terdapat cerita populer dikalangan rakyat yaitu Garudeya, yakni kisah perjalanan garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.








[navigasi.net] Budaya - Candi Kidal
Relief Garudeya dengan air amerta, terletak disisi timur candi


Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah dua bersaudara istri Resi Kesiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata memiliki anak angkat garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahatnya Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada winata. Diajaklah Winata bertaruh pada warna ekor kuda putih Uccaihswara yang sering melewati rumah mereka, dengan catatan yang kalah harus menuruti segala perintah pemenang. Kadru menganggap warnanya adalah hitam sedangkan Winata menganggap warnanya adalah putih.

Para ular tahu bahwa ibu mereka salah. Mereka memberi tahu Kadru, ibunya. Kadru kemudian membuat rencana agar anak-anaknya, para ular mengubah warna ekor kuda Uccaihswara dengan bisanya. Usaha ibu beranak itu berhasil, Winata kalah dan dijadikan budak oleh Kadru. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru dan mengasuh ketiga ular setiap hari. Winata selanjutnya meminta tolong pada Garudeya, anaknya utnuk membantu (relief pertama).

Ketika Garudeya tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia harus menjaga ketiga saudara angkatnya. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uccaihswara, maka Garudeya mengerti. Ditanyakanlah kepada ketiga ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa dan berasal dari lautan susu". Garudeya menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan.








[navigasi.net] Budaya - Candi Kidal
Relief Garudeya mengendong ibunya, terletak disisi utara candi


Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garudeya sehingga terjadi perkelahian. Namun para dewa dapat dikalahkan. Melihat hal ini Batara Wisnu turun tangan dan Garudeya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garudeya tentang keinginannya mendapatkan amerta, maka Batara Wisnu memeperbolehkan dengan syarat Garudeya harus mau jadi kendaraan tunggangannya. Garudeya menyetujui, sehingga bisa membawa air amerta kembali turun ke bumi (relief kedua).

Sejak saat itu pula Garudeya menjadi tunggangan Batara Wisnu. Dan dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garudeya dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garudeya dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan.

Disadur dari artikel wisata Candi Kidal dan buku Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang

Rabu, 14 Oktober 2009

Lawang Sewu


LAWANG Sewu, gedung milik PT Kereta Api (KA) di Semarang, kini sedang dalam proses konservasi, tentu saja terlihat sumringah. Setidaknya itu terlihat di gedung utama, gedung A yang berbentuk L. Kaca mozaik di dinding bagian atas gedung ini, kini semakin jelas terlihat, bahkan jika dilihat dari luar gedung. Perjalanan konservasi gedung bikinan tahun 1904 ini memang baru saja berjalan dan masih berfokus pada bagian hall - bagian tengah gedung A.

Lebih spesifik lagi, konservasi tersebut menyelamatkan bagian gedung yang paling parah, yaitu atap. Atap gedung ini sudah tak mampu lagi menampung air sehingga setiap kali hujan, air akan terjun bebas melalui atap yang sudah lapuk. Selain atap, dinding yang juga sudah lapuk dikuatkan kembali menggunakan bahan yang persis sama dengan bahan asli, gamping atau kapur.

Sekadar informasi, Lawang Sewu dibagi menjadi empat bagian gedung, yaitu gedung A yang berbentuk L; gedung B adalah gedung di bagian belakang yang bentuknya membujur arah utara selatan; gedung C adalah gedung bagian tengah yang dulu difungsikan sebagai kantor; serta gedung D yang terdiri atas gedung-gedung penunjang seperti kamar mandi.

Sejarah mencatat, fondasi pertama bangunan ini dimulai pada 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati. Gedung ini resmi digunakan pada 1907 sebagai kantor Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau jawatan kereta api di zaman Belanda.

Setelah NIS, gedung ini kemudian digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Indonesia (DKAI) yang kini menjadi PT Kereta Api (KA). Seperti pada bangunan Belanda lainnya di berbagai daerah, bangunan ini juga pernah menjadi markas militer, yaitu Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro dan kemudian menjadi Kanwil Departeman Perhubungan Jawa Tengah.

Koordinator pelaksana konservasi Lawang Sewu yang juga anggota Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata Semarang, Kriswandhono, mengatakan, pekerjaan tersebut sudah dikerjakan sekitar dua bulan. "Pelan-pelan, sekalian ngajarin tukang, gimana ngerjain bangunan tua." Dalam perkiraan Kriswandhono, pekerjaan ini akan rampung dalam empat bulan.

Lantas, bagaimana pekerjaan konservasi selanjutnya pada bagian lain dari gedung tersebut dan gedung-gedung lain di kompleks itu? Kriswandhono menjawab, "Pekerjaan selanjutnya tentu tergantung dana. Tapi yang terpenting tentu memikirkan apa yang akan kami lakukan pada hall, yang sekarang kami konservasi, setelah pekerjaan ini rampung."

Kepala Pusat Pelestarian Benda dan Aset Bersejarah PT KA, Ella Ubaidi, mengungkapkan, konservasi awal yang menelan biaya sebesar Rp 800 juta tersebut tidak bisa diburu-buru. "Enggak bisa ditanya, kapan harus selesai. Pokoknya dikerjakan sebaik mungkin, kalau ditentukan kapan harus selesai, nanti malah terburu-buru," ucapnya.

Alangkah lebih baik jika tetap ada jadwal, sebuah grand design yang bisa digunakan sebagai pegangan. Penjadwalan sejak awal - konservasi gedung per bagian - hingga perencanaan fungsi ruang per ruang atau bahkan gedung per gedung. Penjadwalan program sebagai patokan, tentu bisa sedikit melar, tapi setidaknya ada gambaran utuh bagi banyak pihak yang akan terkait dalam proses perencanaan revitalisasi - bahkan juga dalam proses memberikan fungsi baru - pada kompleks bangunan karya arsitek Belanda, Jacob F Klinkhamer dan BJ Ouendag tersebut.

Publikasi dan sosialisasi tentang proses dan hasil konservasi juga menjadi salah satu perangkat yang tak bisa dilewatkan. Termasuk informasi sekecil apapun tentang seluruh pelosok gedung ini, seperti tentang teknologi glasir mutakhir dan sistem saluran udara dan air yang canggih yang diterapkan pada gedung tersebut. Atau info tentang wastafel yang digunakan pada bangunan itu. Pada bagian ini tentu saja bisa diselipkan masukan, dari berbagai aspek, tentang peruntukan baru serta pengelolaannya.

Fase tersebut boleh jadi adalah fase penting dalam rangka membangkitkan kesadaran banyak pihak terhadap apa yang disebut heritage, warisan budaya, pusaka atau apapun sebutannya hingga ke pemahaman mengapa bangunan dan lingkungan di kompleks itu penting dan layak dilestarikan. Pemahaman akan pentingnya sebuah identitas bersama, yaitu bagi sebuah kota sekaligus bagi warga yang tinggal di dalamnya.

Hal lain yang tak kalah penting, tentu soal nilai ekonomi dari gedung tersebut. Rencana kegiatan atau fungsi baru atas ruangan dan atau gedung tersebut harus digerakkan sejak dini. Pemerintah lokal bersama pemilik bangunan, dalam hal ini PT KA, harus jadi regulator yang mendukung upaya revitalisasi yang sesungguhnya - bukan pembenahan fisik semata – tapi juga bagaimana mendatangkan investor.

Tujuannya agar ruangan dan atau gedung yang sudah rampung dikonservasi tak menganggur terlalu lama hingga kembali menjadi dead monument. Perencanaan yang menyeluruh sangat membantu proses menjadikan kompleks bangunan itu segera menjadi the living monument.

Legenda Lutung kasung


Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.

Sumber: www.e-smartschool.com

Asal Usul Kota Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Malin Kundang


Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah berganti tahun, ayah Malin Kundang tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin Kundang untuk mencari nafkah.

Malin Kundang termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin Kundang sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang . Tetapi karena Malin Kundang terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati.

Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin Kundang segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut . Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin Kundang segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai . Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.

Desa tempat Malin Kundang terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin Kundang lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin Kundang dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundangbeserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.

“Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian?

Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.

“Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang.
“Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin Kundang kepada istrinya.

Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang . Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.

(Legenda Rakyat Minangkabau, diceritakan kembali oleh “Bunda Naila”)

Sumber: www.webgaul.com

Legenda Sangkuriang





Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.

Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

Ringkasan Cerita

Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di

sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuri

ang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).


Selasa, 13 Oktober 2009

Serat Centhini jilid 1


Cakupan Serat Centhini adalah sangat luas, berkaitan dengan budaya Jawa pada abad 16-17, ketika kejadian ini berlangsung. Sebagai cerita, istiadat,kepercayaan, mungkin sudah tidak ada lagi pada saat ini. Tetapi sebagian besar nilai nilai ini masih hidup di masyarakat pedesaan di Jawa. Tempat yang dilalui Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti bisa dijadikan referensi arkeologi karena sebagian besar adalah candi-candi dari peninggalan kerajaan jawa di masa lalu. Mungkin candi itu masih ada, mungkin sudah tidak ada, yang pasti gunung-gunung dan desa-desa yang dilewati masih ada sampai saat ini dengan nama yang sama. Contohnya ketika Jayengresmi melihat tulang tulang besar di Gunung Phandan ada kemungkinan tulang- tulang besar ini adalah tulang-tulang binatang purba jaman pra-sejarah. Ketika melewati Dandhangngilo (mungkin sekitar Cepu) ada sumber minyak tanah, kemungkinan tempat ini mengandung sumber minyak mentah.
Sedangkan cerita rakyat yang ada di jilid-1 kemungkinan masih hidup sampai saat ini: Cerita ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu, Cerita Ki Ageng Sela menangkap petir dan papalinya, Cerita Sri – Sadana asal mula ada padi, Cerita tokoh-tokoh pewayangaan yang ada di wayang purwo.
Adat istiadat berkaitan dengan penanggalan Jawa, hari-hari baik/buruk, perhitungan selamatan orang meninggal dll. pada umumnya saat ini sudah dikompilasi menjadi buku Primbon. Banyak kalangan masyarakat Jawa walaupun sudah beragama Kristen atau Islam masih menggunakanya. Bahkan saat ini ada yang menawarkan jasa perhitungan berdasarkan primbon Jawa untuk hal-hal tertentu melalui sms operator tilpun seluler.
Sedangkan adat istiadat yang bersifat khusus seperti pembuatan keris, tombak, ukuran berbagai bagian rumah, dan candrasangkala hanya di pelajari oleh para ahli yang berkecimpung dalam bidang tersebut.
Saat ini masih ada empu pembuat keris, tombak, jenis senjata tajam lainnya. Ahli bangunan pembuatan rumah Joglo. Keduanya sudah ada tehnik dan hitungannya sejak ratusan tahun yang lalu.
Candrasangkala adalah sifat-sifat angka 1 s/d 9. Setiap angka bisa dterjemahkan menjadi kata yang tepat sesuai nilai angka tersebut. Biasanya dibuat untuk merangkai kalimat pendek sesuai kejadian tahun tersebut yang perlu diingat oleh pembuat. Contohnya “Paksa suci sabda ji” adalah tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi yaitu saat Serat Centini ditulis. Kemungkinan Serat Centini ini dibuat atas satu (ji – nilainya 1) perintah (sabda – nilainya 7) secara mendesak (paksa – nilainya 2) dengan maksut baik (suci – nilainya 4). Untuk bisa membuat Candrasangkala harus menguasai sifat kata-kata sesuai nilainya dari 1 s/d 9, cukup rumit. Saat ini mungkin hanya kalangan kraton yang masih menguasai ilmu ini.
Sedangkan pengetahuan sprituil, banyak kajian-kajian atau buku-buku yang diterbitkan berkaitan dengan ilmu-ilmu spirituil yang dibicarakan dalam setiap jilid Serat Centini, dikarenakan masyarakat Jawa senang dengan pembahasan tentang “sangkan paraning dumadi” atau “asal-usul kehidupan” dalam bentuk pembicaran tasauf. Banyak juga Serat berupa tembang yang memberi nasehat agar kita menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Yang disebut dalam jilid-1 adalah:
1. Serat Nitisruti adalah karangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612. Berisi nasehat agar berbudi luhur dan mengambarkan tingkahlaku yang tergolong nista-madya-utama.
2. Waringin Sunsang adalah cerita simbol asal usul kehidupan dan jalan kematian. Pada saat roh yang berasal dari Allah SWT. turun memberi hidup pada manusia adalah mudah, tapi waktu mau kembali lagi sulit seperti beringin yang terbalik - waringin sungsang. Beban perbuatan selama hidup akibat nafsu-nafsu yang mempengaruhi manusia, menjadi hambatan untuk roh kembali ke akar kehidupan yang mengarah keatas. Kecuali dengan usaha yang tidak kenal lelah fokus pada keseimbangan menuju ke akar kehidupan yaitu pengabdian kepada Allah SWT.
3. Empat cara bertapa atau empat cara tirakat (tarekat/laku/tingkah laku):
- Anarima, menerima kasih sayang Allah SWT, menerima apapun yang terjadi sesuai dengan takdir Ilahi.
- Geniira, menghindari diri dari rasa amarah.
- Banyuira, pandai menyesuaikan diri seperti aliran air.
- Ngluwat, memendam semua hal yang membanggakan diri agar tidak menganggap diriya paling benar. Bersikap andap asor.
4. Langit Sapta (Langit Tujuh) adalah tingkatan roh menuju kesempurnaan: roh jasmani, roh nabati, roh napsani, roh rohani, roh nurani, roh rabani, roh kapi.
5. Sifat rong puluh atau sifat dua puluh adalah usaha penghayatan akan Dzat, Sifat, Asma dan Afngal Allah SWT (kemungkinan besar ini adalah sinkretisasi atau adaptasi dari Asma Al-Husna):
a. Napsiyah (Dzat): Wujud (Pasti Adanya)
b. Salbiyah (Sifat): Kidam (Maha Awal), Baka (Maha Abadi), Mukalapah lil kawadis (Maha Luhur), Wal kiyamu binaphisi (Mengadakan Diri Sendiri), Wahdaniyat (Maha Esa).
c. Manganiyah (Asma): Kodrat (Maha Kuasa), Iradat (Maha Pencipta), Ngelmu (Maha Pandai), Kayat (Maha Hidup), Samak (Maha Tahu), Basar (Maha Waspada), Kalam (Maha Wicara),
d. Maknawiyah (Afngal): Kadiran (Yang Maha Menguasai), Muridan (Yang Maha Mencipta), Ngalimun (Yang Maha Menguasai Ilmu), Kayat (Yang Maha Menghidupi), Samingun (Yang Maha Mengetahui), Basiran (Yang Maha Melihat), Muakalimun (Yang Maha Pembicara).
Kesimpulannya pada abad 16 – 17 di pedalaman Jawa banyak para bijak hidup menyepi yang menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai kekayaan beragam budaya baik budaya asli yang berumur sangat tua maupun budaya akibat penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam. Satu sama lain hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Barangkali saat ini juga masih begitu kalau kita berbicara masyarakat di pedesaan yang masih lekat dengan budaya masa lalu dan tidak terlalu bersinggungan dengan pengaruh budaya Barat.



Senin, 12 Oktober 2009

Rawapening yang tidak membuat pening

Bagi sebagian masyarakat Jawa Tengah keberadaan legenda Baru Klinting dengan Telaga Rawa Pening, tentunya sudah tak asing lagi. Legenda tersebut konon merupakan perwujudan ular besar dengan genta yang menggantung di lehernya. Kabarnya, ia muncul memberi keberuntungan saat nelayan tak mendapat ikan.

Walau tak tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di sebut Rawa pening, tetap saja masyarakat setempat mengaitkan telaga seluas 2.670 Ha itu dengan kemunculan sesosok ular besar yang dianggap keramat. Masih menurut mereka, di saat-saat tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga untuk memberi berkah bagi orang-orang yang membutuhkan. Sampai-sampai untuk menghormati legenda tersebut, sebuah ornamen dari beton berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga ini.


Rawa Pening, demikian nama objek wisata itu. Rawa Pening merupakan lokasi wisata populer di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bukit Cinta, Kabupaten Ambarawa, berjarak 45 Km dari Semarang. Luasnya mencakup 4 wilayah kecamatan; Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Telaga ini sendiri berada di lereng Gn. Merbabu, Gn. Telomoyo dan Gn. Ungaran dengan ketinggian 461 mdpl.

Saat itu, di sebuah kesempatan kami memulainya dari Salatiga, hanya memakan waktu 10 menit berkendara. Rupanya, jarak Salatiga – Rawa Pening cuma 5 Km. Untuk sampai kesana kita akan melalui jalan yang sedikit menanjak dan berkelok-kelok. Beberapa rumah dan kebun tampak menghiasi sisi kanan dan kiri jalan. Selain itu, tak ketinggalan hawa dingin yang langsung menyergap, pertanda kita sedang berada di ketinggian.

Hari tampak mendung, saat kami tiba di objek wisata ini, pukul 8.30 pagi. Keinginan menjelajahi telaga yang luasnya mencakup 4 kecamatan ini pun sempat urung dilaksanakan. Pasalnya, tak lama berselang hujan deras turun. Jika sudah begini, jarak pandang akan terbatas akibat kabut dan penyewaan perahu tampak sepi.

Rencananya, kunjungan singkat ini untuk menikmati pesona telaga yang dianggap sakral oleh penduduk setempat, sembari melihat dari dekat penghuni kawasan yang oleh masyarakat sekitar di sebut ‘ikan wader’. Konon telur ikan ini berkhasiat sebagai obat perekat bagi tulang yang patah.

Sebuah Legenda


Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sumber air telaga berasal dari luberan air bekas cabutan lidi Baru Klinting.

Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.

Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.

Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.

Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.

Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.

Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.

Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.

Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.

Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.

Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.

Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.

Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.

Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu.

Potensi Kawasan

Layaknya lokasi wisata di tempat lain, pengunjung harus membayar tiket agar bisa masuk ke kawasan Rawa Pening. Disini, loket mulai dibuka sejak pukul 8.30 WIB sampai 21.00 WIB. Loket di buka hingga larut, karena jumlah pengunjung akan bertambah saat malam tiba. Umumnya mereka adalah pasangan muda yang ingin menikmati suasana malam ditemani menu khusus, berupa ikan wader yang baru di tangkap. Selain itu, para pemancing pun jamak memenuhi kawasan ini pada malam hari, karena ikan-ikan lebih gampang di tangkap saat gelap.

Namun, bagi anda yang ingin menikmati indahnya telaga, berkunjung pada pagi hari merupakan pilihan tepat. Selain bisa berkeliling dengan menyewa perahu, kita pun bisa bersantai di pinggir telaga sembari menikmati aneka kuliner di warung yang berjejer rapi di tempat itu. Sedangkan bagi anda yang kurang tertarik naik perahu, di pinggir telaga terdapat taman yang indah. Lokasi ini sangat cocok untuk tempat bermain keluarga. Selain itu, dermaga juga merupakan pilihan yang menarik untuk didatangi. Pasalnya, dari tempat itu, kita bisa bersantai sembari melihat pengunjung yang akan ataupun kembali berkeliling. Puas menikmati keindahan danaunya, tak jauh dari situ, kita juga bisa mendatangi beberapa area wisata lain, seperti Tlogo, Lopait, Bukit Cinta, Muncul dan Asinan.

Jika punya cukup waktu, tak ada salahnya menjelajahi hamparan telaga Rawa Pening dengan menggunakan perahu, seperti yang kami lakukan. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp. 25.000/ jam, kita diajak berkeliling melihat dari dekat kehidupan nelayan saat menangkap ikan di sela-sela hamparan Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) yang kini jumlahnya semakin banyak. Perlu diingat bahwa kapasitas perahu mampu menampung 10 sampai 12 orang. Jadi apabila kita sendirian atau rombongan masih kurang dari 10, untuk efisiennya lebih baik menunggu orang lagi yang sama-sama ingin menaiki perahu tersebut.

Di tempat ini ada dua metode yang dipakai nelayan untuk menangkap ikan. Pertama dengan cara konservatif menggunakan jala. Cara ini dipilih oleh nelayan dengan mobilitas tinggi, mengingat cakupan yang begitu luas dan ikan ada di banyak tempat. Sedangkan metode kedua dengan menggunakan jaring apung. Jaring di tempatkan sedemikian rupa di sebuah tempat, dengan harapan ikan akan berkumpul di dalamnya, jika diberi makanan. Dengan cara ini nelayan tak butuh banyak tenaga untuk berkeliling. Cukup stay di satu tempat, lalu pada waktu tertentu mereka akan mengecek, apakah jaringnya sudah penuh ikan atau belum. Biasanya nelayan akan mencari ikan di air yang jernih dan ber-arus, karena ikan tak dapat hidup di air kotor dengan sirkulasi udara yang buruk. Ikan yang ada di telaga ini pun beragam, mulai dari mujahir, gabus, gurami, wader, hingga sepat.

Wisata Kuliner; Telur Ikan Wader

Saat perut terasa lapar setelah lelah berkeliling di tengah udara dingin, tak ada salahnya mengisi lambung di salah satu warung yang banyak bertebaran di tempat ini. Untuk menunya bisa bermacam-macam, mulai dari nasi rames, gurami goreng opor ayam hingga bebek goreng.

Namun, bagi kami, menikmati sajian khusus yang tak ada di tempat lain, tentunya memberi kesan tersendiri. Salah satunya dengan mencoba telur ikan wader. Telur ikan ini menjadi khas, karena hanya di hasilkan oleh ikan wader yang kebetulan banyak di telaga ini. Secara umum ikan wader ada di banyak tempat di P. Jawa, tapi wader di tempat ini berbeda, karena bentuknya yang besar dengan sisik halus berwarna hijau.

Ikan ini sendiri tak laku di jual bila telurnya di keluarkan. Pasalnya seperempat bagian tubuhnya terdiri dari telur. Selain itu, tak tahu mengapa, kebanyakan ikan yang ditangkap nelayan, pasti memiliki telur yang banyak. Mungkinkah ikan ini hermaprodith? Mungkin, bisa juga begitu.

Sejatinya, telur ikan ini kurang menarik jika tidak di campur telur ayam sebagai perekatnya. Selesai di kukus, telur yang telah dicampur akan di masukkan ke dalam plastik sebagai wadahnya. Selanjutnya tinggal menunggu pembeli. Dari satu plastik biasanya dapat menghasilkan 4 – 5 potong olahan telur wader yang siap di konsumsi.

Soal rasa? Ehm.., jangan di tanya! Rasanya jauh berbeda dengan olahan telur wader kebanyakan. Pasalnya, banyak pedagang menjual olahan telur wader palsu. Rasa yang gurih dengan partikel padat berbentuk bintik-bintik hitam menjadi penanda keasliannya. Tak ketinggalan, warna buram (baca: tidak mencolok) pun jadi indikator lainnya.

Selain itu, olahan telur wader palsu kebanyakan menggunakan formalin sebagai pengawet dicampur dengan pewarna tekstil untuk memberi warna yang menarik. Bahan tersebut tentunya sangat berbahaya jika di konsumsi tubuh. Sedangkan olahan telur wader asli tak tahan lama, karena tidak menggunakan pengawet.

Untuk se-plastik olahan telur wader asli yang masih mentah (baca; belum di masak), harganya mencapai Rp. 7.000 – Rp. 10.000, jauh lebih mahal ketimbang telur ikan palsu yang sekepingnya cuma Rp. 1.500 – Rp. 3.000. Harganya bervariasi lantaran keberadaan wader tak selalu ada setiap saat. Ada waktu-waktu dimana keberadaannya gampang di dapat. Biasanya saat musim penghujan tiba, seperti sekarang ini.

Sedangkan harga telur wader yang telah digoreng (baca: siap di konsumsi) berkisar Rp. 2.000 – Rp. 3.000 per kepingnya. Kudapan ini bisa di padu dengan aneka makanan lain, seperti gurami goreng dan sayur asem.

Umumnya, akan lebih baik kita membeli olahan telur wader di kawasan ini, karena keasliannya terjamin. Selain lebih segar, harganya pun jauh lebih murah, ketimbang membeli di kota.

Surganya Berburu Foto.

Bagi penggemar fotografi, Rawa Pening adalah surganya. Keindahan telaga ini sangat menarik diabadikan dalam bidikan kamera. Terutama di pagi hari (sunrise) maupun sorenya (sunset). Namun, kebanyakan pemandangan sore hari tertutup kabut, karena hujan yang selalu turun. Akan lebih baik datang kesini mulai subuh saat sunrise. Dengan menunggu di dermaga, kita bisa memotret keindahan panorama Rawa Pening dari awal terbitnya matahari. Konon suasana pagi di sini sangat mistis, begitu indah diabadikan lewat lensa kamera.

Menjelang pagi, pengunjung dapat melanjutkan hunting foto dengan menaiki kapal yang disewakan di dermaga. Pada pagi hari, biasanya para nelayan sedang ber-siap pulang, usai menjala semalaman. Jika jeli, kita dapat menjadikannya salah satu objek foto yang menawan. Berhubung Rawa Pening sangat luas, seringkali saat memotret, kita akan lupa waktu. Bahkan mungkin tidak terasa jika matahari sudah bersinar tepat di atas kepala.

Berhubung kami datang di musim penghujan, tak banyak foto yang berhasil ku dokumentasikan. Paling-paling keadaan sekeliling di tambah aktivitas nelayan yang memaksakan diri menangkap ikan, meski hujan sedang lebat-lebatnya.

Walau begitu, aku cukup puas bisa menikmati dari dekat lokasi legenda Baru Klinting yang sangat kesohor itu. Mendengar legenda Baru Klinting, melihat aktivitas nelayan, berkeliling dengan perahu motor, serta menikmati telur ikan wader memberi kesan tersendiri, saat berkunjung ke lokasi wisata air Rawa Pening.

Bagi anda yang belum pernah kesana, tak ada salahnya mencoba berwisata ke tempat ini. Selain alamnya yang masih asri, biaya penginapan dan makanannya pun terbilang murah. Beberapa item indikator penentu, ketika kita melakukan perjalanan wisata, bukan?